KERA DAN PASAK KAYU
gambar. kidsgen.com
Seorang
pedagang mendirikan Candi dibawah pepohonan di pinggir sebuah kota kecil. Karena
sepinya tempat itu setiap hari para tukang kayu dan pekerjanya pergi ke pasar
tengah kota untuk makan siang.
Suatu siang
menjelang istirahat makan seorang tukang kayu memasang pasak pada balok kayu
yang sedang digergajinya. Pasak kayu itu dipasang persis ditengah belahan balok
yang sudah digergaji, agar balok kayu itu tidak rapat kembali.
Ketika para
pekerja sedamg pergi, sekawanan kera datang ke candi itu. Mereka bermain ke
diatas pohon dan bangunan tinggi dengan perasaaan gembira tanpa mengiraukan
bahaya. Seekor kera bernasib malang. Dia duduk di tengah balok yang sedang
digergaji tadi, dan tangannya mencabut pasak itu. Ketika pasak itu lepas, balok
kayu itu menutup kembali dan langsung menjepit pangkal kakinya. Seketika itu si
kera mati.
*****
“ itulah
sebabnya kukatakan kepadamu ,” kata karataka kepada Damanaka, “tidak perlu
campur tangan dengan urusan orang lain. Pekerjaan kita adalah memakan sisa
makanan yang ditinggalkan oleh sang singa.”
“apa?”
kata Damanaka dengan geram. “kalau kira urusan kita Cuma makan? Aku tidak
setuju, karena kata orang : sungguh
tercela si burung gagak kalau hidup hanya dari makanan yang ada.”
“tetapi,”
kata karataka, “kita tidak sedang melayani raja. Jadi, kenapa harus repot-repot
memperhatikan masalah yang bukan urusan kita?”.
“tidak!”
kata Damanaka, “jangan berbicara seperti itu sebab kata orang :
Orang biasa dapat menjadi menteri
kalau dia melayani raja dengan baik tetapi seorang menteri bisa dipecat kalau
dia gagal melayani rajanya dengan baik. Pelayan yang baik, memperhatikan apa
yang membuat tuannya bahagia bahkan apabila tuannya berwatak jahat sekalipun. Mereka
yang bijaksana tak akan gagal melayani raja, kalau ia dapat menghalau ular,
harimau, gajah, dan singa dengan satu langkah.”
“Jadi apa
gagasanmu?” tanya Karataka.
“kita
lihat hari ini pikiran majikan kita dan pengikutnya sedang kacau bahkan
ketakutan,” jawab Damanaka. “aku akan mencari tahu apa penyebabnya. Setelah itu
aku akan menggunakan satu dari enam diplomatik yang ku ketahui yaitu : BERDAMAI
ATAU BERPERANG, MENYERANG ATAU BERTAHAN, BERLINDUNG PADA SEKUTU YANG KUAT, ATAU
MENIMBULKAN PERSELISIHAN DIANTARA MUSUH.”
“darimana
engkau tahu singa majikan kita sedang ketakutan sehingga tak mampu berpikir?”
tanya Karataka. “tak perlu kau tahu caranya,” kata Damanaka, ‘sebab seperti
kata Manu :
Pikiran orang lain dapat dilihat
dari raut wajah, gerak-gerak tubuh, kata-kata, dan kedipan matanya’
“dengan
kecerdasanku, aku akan membebaskan Pingalaka dari kekhawatirannya dan dengan
begitu aku akan memperoleh jabatanku sebagai menteri.”
“tetapi
bukankah engkau tak tahu cara melayaninya,” kata Karataka. “bagaimana caramu
mempengaruhinya?”.
“hm!”
sahut Damanaka,”waktu kecil dalam pangkuan ayahku, aku sering mendengar cerita-cerita
lama yang dikisahkan oleh para mahatma. Sejak itu kusimpan intisari cerita itu
dalam ingatan. Dengarkanlah beberapa diantaranya :
Orang pemberani, sarjana dan
mereka yang tahu melayani adalah pemetik mawar-mawar emas di bumi ini. Dan,
melayani seorang raja yang tak tahu jasa pelayannya yang bijaksana seperti
membajak tanah yang tandus.”
“tolong
katakan kepadaku,” kata Karataka, “untuk memulainya, apa yang akan kau katakan
kepadanya?.”
“apapun
yang akan aku katakan,” kata Damanaka. “harus dikatakan pada saat yang tepat
karena biarpun Brihaspati bila berbicara pada waktu yang tidak tepat akan
dihina.”
“namun,
bukankah seorang raja sukar untuk dipengaruhi. Dia keras dan tanpa perasaan seperti
gunung, lagi pula sering kalidikelilingi oleh orang-orang jahat.”
“benar.”
Kata Damanaka, “tetapi :
kalau raja marah
dia harus disanjung, temannya harus dianggap sebagai teman kita juga, musuhnya
sebagai musuh kita pila. Pemberiannya mesti dihargai, dengan begitu dia dapat
dikuasai tanpa ilmu sihir.”
“kalau
begitu terserah kamu, semoga Tuhan melindungimu.” Kata Karataka. Damanaka
membungkuk meminta diri kepada Karanaka , lalu langsung menghadap raja, sang
singa. Saat Pingalaka melihat Damanaka mendekatinya ia berkata kepada
pengawalnya,”dia Damanaka anak bekas mnteriku, biarkan dia menghadap.”
Ketika Damanaka
tiba, Pingalaka menyapanya dengan ramah, “apakah hidupmu makmur bahagia?, ada
apa gerangan menghadapku setelah sekian lama berpisah?”.
“yang
mulia,” kata Damanaka, “biarpunbaginda tak punya lowongan pekerjaan khusus
kepada hamba, hamba ingin menawarkan pelayanan pengabdian hamba bila
diperlukan. Seorang raja membytyhkan tiga jenis orang: yang tinggi, sedang dan
yang rendah. Orang-orang bijak berkata ;
Meskipun
seorang raja hanya memerlukan lidi kecil untuk mengorek telinga atau gigi, ia
tetap memerlukan orang yang mempunyai tangan kemampuan bicara.”
Damanaka
melanjutkan, “dulu bangsa kami, serigala dengan setia melayani paduka bahkan
disaat saat tersulit sekalipun. Namun toh dipecat juga dari pekerjaan. Paduka tidak
adil dan menurut hamba itu kesalahan paduka bukan kesalahan para pengganti kami
karena :
raja yang tidak mengerti perbedaan antara kaca dan intan sungguh tak pantas
dilayani. Orang yang cerdas sedetikpun tak akan tinggal diam, melihat orang
yang tak dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Sebaliknya pelayan
yang arif tetap rendah hati sekalipun memerima penghormatan, dan jika dihina
mukanya tetap tenang. Ia tidak hirau
pada penghormatan atau hinaan. Sesungguhnya raja dan pelayannya saling bergantung, tak ada
raj jika tanpa pelayan dan tak ada pelayan tanpa raja. Ketika raja senang ,
pelayan diberi emas berlimpah, dan pelayan mengimbangi pemberian itu dengan
pengorbanan jiwa dan raga.”
Damanaka
terus berbicara, “tak pantas baginda menganggap kami hina hanya karena kami
serigala karena : sutra berasal dari ulat,
emas dari dalam tanah teratai dari lumpur, api dari sepotong kayu, dan permata
dari dahi ular kobra.”
“demikianlah,’
kata Damanaka akhirnya, “kebaikan dapat
muncul dari makhluk hina dina”.
Menjawab
kata-kata Damanaka yang panjang lebar, Pingalaka mengatakan, “engkau anak bekas
menteriku, dan aku tidak membedakan derajat tinggi dengan rendahmu. Kalau engkau
punya sesuatu untukkau sampaikan, katakan saja.”
“tuan!”
kata Damanaka, “memang ada sesuatu yang ingin hamba katakan.”
“katakanlah”,
kata Pingalaka.
“namun
ini rahasia,” jawab Damanaka, “karena apapun
yang didengar oleh enam telinga tak akan
pernah menjadi rahasia , orang bijaksana tak akan membiarkan rahasianya
didengar oleh enam telinga”.
Harimau,
anjing hutan dan binatang lain pengwal baginda raja hutan menangkap isyarat
dari Pingalaka yang menghendaki mereka pergi. Tinggallah Pingalaka berdua
dengan Damanaka. Damanaka mendekat lalu bertanya lirih,”baginda pergi ke sungai
untuk minum tapi tiba-tiba membatalkannya, mengapa?”
“oh itu,
sebenarnya tak ada alasan khusus,” kata Pingalaka sambil tersenyum. “kalau
masalah ini tak boleh dibicarakan baiklah,” kata Damanaka yang tak puas atas
jawaban itu, “hamba paham karena :
ada
hal-hal yang hanya dapat dibicarakan dengan istri, ada hal-hal yang hanya dapat
dibicarakan dengan anak laki-laki, atau hanya dengan anggota keluarga, tak
semua masalah dapat dibicarakan dengan semua orang.”
Mendengar
kata-kata itu Pingalaka berpikir,”tampaknya dia dapat dipercaya. Aku ingat
pesan-pesan nenek moyangku :
Kalau seseorang dapat membagi
duka-citanya pada teman yang dipercaya, atau pembantu yang setia, atau majikan
yang baik hati, juga istri yang jujur, ia dapat bernafas lega dan hidup
bahagia.” Maka Pingalaka
bertanya pada Damanaka, “dapatkah engkau mendengar suara menakutkan dari
kejauhan itu ?”.
“ya,”
jawab Damanaka, “hamba mendengarnya tetapi mengapa?”
“itulah,”
kata Pingalaka. “rasanya aku ingin pergi saja dari hutan ini.”
“kenapa?”
tanya Damanaka.
“karena
ada binatang raksasa disini. Suara keras itu pasti suaranya. Tenaganya pun
pasti sekuat suaranya.”
“maksud
tuan, suara itu saja yang menakutkan paduka?!” tanya Damanaka heran. “keliru!,
hutan ini sudah beberapa keturunan menjadi milik paduka. Tak pantas paduka
meninggalkan hutan ini begitu saja. Apalagi bermacam-macam suara buatan dapat
diolah melalui gendang, sangka, vena dll. Jadi paduka tak perlu takut hanya
pada suara, karena ; serigala yang lapar mengatasi rasa takut dengan
mengalahkan suara yang menakut-nakutinyadan iapun mendapatkan makanan.”
“bagaimana
kisahnya?” kata Pingalaka.
Maka Damanaka
bercerita tentang seekor serigala dan genderang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar