Senin, 22 Januari 2018

KERA DAN PASAK KAYU


seekor kera mencabut pasak kayu yang tertancap namun akhirnya dia terjepit
gambar. kidsgen.com


Seorang pedagang mendirikan Candi dibawah pepohonan di pinggir sebuah kota kecil. Karena sepinya tempat itu setiap hari para tukang kayu dan pekerjanya pergi ke pasar tengah kota untuk makan siang.
Suatu siang menjelang istirahat makan seorang tukang kayu memasang pasak pada balok kayu yang sedang digergajinya. Pasak kayu itu dipasang persis ditengah belahan balok yang sudah digergaji, agar balok kayu itu tidak rapat kembali.
Ketika para pekerja sedamg pergi, sekawanan kera datang ke candi itu. Mereka bermain ke diatas pohon dan bangunan tinggi dengan perasaaan gembira tanpa mengiraukan bahaya. Seekor kera bernasib malang. Dia duduk di tengah balok yang sedang digergaji tadi, dan tangannya mencabut pasak itu. Ketika pasak itu lepas, balok kayu itu menutup kembali dan langsung menjepit pangkal kakinya. Seketika itu si kera mati.
*****
“ itulah sebabnya kukatakan kepadamu ,” kata karataka kepada Damanaka, “tidak perlu campur tangan dengan urusan orang lain. Pekerjaan kita adalah memakan sisa makanan yang ditinggalkan oleh sang singa.”
“apa?” kata Damanaka dengan geram. “kalau kira urusan kita Cuma makan? Aku tidak setuju, karena kata orang : sungguh tercela si burung gagak kalau hidup hanya dari makanan yang ada.”
“tetapi,” kata karataka, “kita tidak sedang melayani raja. Jadi, kenapa harus repot-repot memperhatikan masalah yang bukan urusan kita?”.
“tidak!” kata Damanaka, “jangan berbicara seperti itu sebab kata orang :

Orang biasa dapat menjadi menteri kalau dia melayani raja dengan baik tetapi seorang menteri bisa dipecat kalau dia gagal melayani rajanya dengan baik. Pelayan yang baik, memperhatikan apa yang membuat tuannya bahagia bahkan apabila tuannya berwatak jahat sekalipun. Mereka yang bijaksana tak akan gagal melayani raja, kalau ia dapat menghalau ular, harimau, gajah, dan singa dengan satu langkah.”

“Jadi apa gagasanmu?” tanya Karataka.
“kita lihat hari ini pikiran majikan kita dan pengikutnya sedang kacau bahkan ketakutan,” jawab Damanaka. “aku akan mencari tahu apa penyebabnya. Setelah itu aku akan menggunakan satu dari enam diplomatik yang ku ketahui yaitu : BERDAMAI ATAU BERPERANG, MENYERANG ATAU BERTAHAN, BERLINDUNG PADA SEKUTU YANG KUAT, ATAU MENIMBULKAN PERSELISIHAN DIANTARA MUSUH.”
“darimana engkau tahu singa majikan kita sedang ketakutan sehingga tak mampu berpikir?” tanya Karataka. “tak perlu kau tahu caranya,” kata Damanaka, ‘sebab seperti kata Manu :
Pikiran orang lain dapat dilihat dari raut wajah, gerak-gerak tubuh, kata-kata, dan kedipan matanya’
“dengan kecerdasanku, aku akan membebaskan Pingalaka dari kekhawatirannya dan dengan begitu aku akan memperoleh jabatanku sebagai menteri.”
“tetapi bukankah engkau tak tahu cara melayaninya,” kata Karataka. “bagaimana caramu mempengaruhinya?”.
“hm!” sahut Damanaka,”waktu kecil dalam pangkuan ayahku, aku sering mendengar cerita-cerita lama yang dikisahkan oleh para mahatma. Sejak itu kusimpan intisari cerita itu dalam ingatan. Dengarkanlah beberapa diantaranya :

Orang pemberani, sarjana dan mereka yang tahu melayani adalah pemetik mawar-mawar emas di bumi ini. Dan, melayani seorang raja yang tak tahu jasa pelayannya yang bijaksana seperti membajak tanah yang tandus.”

“tolong katakan kepadaku,” kata Karataka, “untuk memulainya, apa yang akan kau katakan kepadanya?.”
“apapun yang akan aku katakan,” kata Damanaka. “harus dikatakan pada saat yang tepat karena biarpun Brihaspati bila berbicara pada waktu yang tidak tepat akan dihina.”
“namun, bukankah seorang raja sukar untuk dipengaruhi. Dia keras dan tanpa perasaan seperti gunung, lagi pula sering kalidikelilingi oleh orang-orang jahat.”
“benar.” Kata Damanaka, “tetapi : 
kalau raja marah dia harus disanjung, temannya harus dianggap sebagai teman kita juga, musuhnya sebagai musuh kita pila. Pemberiannya mesti dihargai, dengan begitu dia dapat dikuasai tanpa ilmu sihir.”

“kalau begitu terserah kamu, semoga Tuhan melindungimu.” Kata Karataka. Damanaka membungkuk meminta diri kepada Karanaka , lalu langsung menghadap raja, sang singa. Saat Pingalaka melihat Damanaka mendekatinya ia berkata kepada pengawalnya,”dia Damanaka anak bekas mnteriku, biarkan dia menghadap.”
Ketika Damanaka tiba, Pingalaka menyapanya dengan ramah, “apakah hidupmu makmur bahagia?, ada apa gerangan menghadapku setelah sekian lama berpisah?”.
“yang mulia,” kata Damanaka, “biarpunbaginda tak punya lowongan pekerjaan khusus kepada hamba, hamba ingin menawarkan pelayanan pengabdian hamba bila diperlukan. Seorang raja membytyhkan tiga jenis orang: yang tinggi, sedang dan yang rendah. Orang-orang bijak berkata ;
Meskipun seorang raja hanya memerlukan lidi kecil untuk mengorek telinga atau gigi, ia tetap memerlukan orang yang mempunyai tangan kemampuan bicara.”
Damanaka melanjutkan, “dulu bangsa kami, serigala dengan setia melayani paduka bahkan disaat saat tersulit sekalipun. Namun toh dipecat juga dari pekerjaan. Paduka tidak adil dan menurut hamba itu kesalahan paduka bukan kesalahan para pengganti kami karena : 

raja yang tidak mengerti perbedaan antara kaca dan intan sungguh tak pantas dilayani. Orang yang cerdas sedetikpun tak akan tinggal diam, melihat orang yang tak dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Sebaliknya pelayan yang arif tetap rendah hati sekalipun memerima penghormatan, dan jika dihina mukanya  tetap tenang. Ia tidak hirau pada penghormatan atau hinaan. Sesungguhnya  raja dan pelayannya saling bergantung, tak ada raj jika tanpa pelayan dan tak ada pelayan tanpa raja. Ketika raja senang , pelayan diberi emas berlimpah, dan pelayan mengimbangi pemberian itu dengan pengorbanan jiwa dan raga.”

Damanaka terus berbicara, “tak pantas baginda menganggap kami hina hanya karena kami serigala karena : sutra berasal dari ulat, emas dari dalam tanah teratai dari lumpur, api dari sepotong kayu, dan permata dari dahi ular kobra.”
“demikianlah,’ kata Damanaka akhirnya, “kebaikan dapat muncul dari makhluk hina dina”.
Menjawab kata-kata Damanaka yang panjang lebar, Pingalaka mengatakan, “engkau anak bekas menteriku, dan aku tidak membedakan derajat tinggi dengan rendahmu. Kalau engkau punya sesuatu untukkau sampaikan, katakan saja.”
“tuan!” kata Damanaka, “memang ada sesuatu yang ingin hamba katakan.”
“katakanlah”, kata Pingalaka.
“namun ini rahasia,” jawab Damanaka, “karena apapun  yang didengar oleh enam telinga tak akan pernah menjadi rahasia , orang bijaksana tak akan membiarkan rahasianya didengar oleh enam telinga”.
Harimau, anjing hutan dan binatang lain pengwal baginda raja hutan menangkap isyarat dari Pingalaka yang menghendaki mereka pergi. Tinggallah Pingalaka berdua dengan Damanaka. Damanaka mendekat lalu bertanya lirih,”baginda pergi ke sungai untuk minum tapi tiba-tiba membatalkannya, mengapa?”
“oh itu, sebenarnya tak ada alasan khusus,” kata Pingalaka sambil tersenyum. “kalau masalah ini tak boleh dibicarakan baiklah,” kata Damanaka yang tak puas atas jawaban itu, “hamba paham karena : 

ada hal-hal yang hanya dapat dibicarakan dengan istri, ada hal-hal yang hanya dapat dibicarakan dengan anak laki-laki, atau hanya dengan anggota keluarga, tak semua masalah dapat dibicarakan dengan semua orang.”

Mendengar kata-kata itu Pingalaka berpikir,”tampaknya dia dapat dipercaya. Aku ingat pesan-pesan nenek moyangku :
Kalau seseorang dapat membagi duka-citanya pada teman yang dipercaya, atau pembantu yang setia, atau majikan yang baik hati, juga istri yang jujur, ia dapat bernafas lega dan hidup bahagia.” Maka Pingalaka bertanya pada Damanaka, “dapatkah engkau mendengar suara menakutkan dari kejauhan itu ?”.
“ya,” jawab Damanaka, “hamba mendengarnya tetapi mengapa?”
“itulah,” kata Pingalaka. “rasanya aku ingin pergi saja dari hutan ini.”
“kenapa?” tanya Damanaka.
“karena ada binatang raksasa disini. Suara keras itu pasti suaranya. Tenaganya pun pasti sekuat suaranya.”
“maksud tuan, suara itu saja yang menakutkan paduka?!” tanya Damanaka heran. “keliru!, hutan ini sudah beberapa keturunan menjadi milik paduka. Tak pantas paduka meninggalkan hutan ini begitu saja. Apalagi bermacam-macam suara buatan dapat diolah melalui gendang, sangka, vena dll. Jadi paduka tak perlu takut hanya pada suara, karena ; serigala yang lapar mengatasi rasa takut dengan mengalahkan suara yang menakut-nakutinyadan iapun mendapatkan makanan.”
“bagaimana kisahnya?” kata Pingalaka.

Maka Damanaka bercerita tentang seekor serigala dan genderang.

Tidak ada komentar:

  " Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, jiwa (Atman) dibersaihkan dengan ilmu pengetahuan dan akal budi...