Rabu, 24 Januari 2018

UPAH KECEROBOHAN

Di sebuah Matha, yang sepi, hiduplah seorang sanyasi bernama dev Sharma. Karena dipandang suci dan terhormat seringlah orang mengunjunginya untuk meminta pendapat atau nasehat sambil membawakan hadiah untuknya terutama kain tenunan halus atau rajutan indah. Semakin banyak tamunya semakin banyak pula hadiah yang diterima Dev Sharma.
Tumpukan hadiah itu kemudian dijualnya. Lama-kelamaan ia menjadi kaya-raya dari hasil penjualan barang-barang persembahan tersebut. Namun karena sangat kaya, Dev Sharma selalu was-was uangnya dicuri atau curiga pada orang lain. Siang malam ia mengapit tas uangnya kemana saja. Ia membenarkan pendapat orang bahwa :
Mencari uang memang susah tetapi lebih susah lagi menjaganya. Mencari dan membelanjakan uang menimbulkan banyak masalah, terkutuklahsumber kekhawatiran yang tak kunjung berakhir ini.
Seorang pencuri bernama ashadbhuti tak luput mengintainya. Dia selalu berpikir bagaiman cara mencuri uang sanyasi itu. Tak mudah mendekatinya. Tembok asrama tebal dan terlalu kuat untuk dibobol. Pintu gerbangnya tinggi dan dijaga.
Namun pada suatu hari ia mendapat gagasan cemerlang.
“lebih baik aku melamar menjadi murid sampai aku dipercaya menjadi pengikutnya. Kalu ia sudah mempercayaiku niscaya ia akan jatuh ke dalam cengkeramanku. Aku akan menggunakan siasat seperti yang dibenarkan banyak orang:
Orang yang tidak mempunyai pamrih tak akan merampas hak orang lain. Dan orang yang tak mempunyai nafsu tak akan merias diri, orang bodoh tak akan berbelit-belit, orang yang berbicara terus terang pasti bukan penipu.”
Setelah mantap dengan rencananya, ashadbhuti meminta ijin untuk menghadap Dev Sharma. Ketika diterima, ia membungkuk hormat dihadapan rahib itu dengan penuh takzim seraya memberi salam ‘Om Namah Siwaya’.
Kemudian sambil bersujud dengan rendah hati dia berkata,”oh bagavan, hidupku ini sia-sia! Masa muda cepat berlalu seperti aliran air dari gunung. Hidup ini seperti api di padang rumput, kebahagiaan tak ada yang kekal seperti sirnanya awan di musim gugur. Dan hubungan dengan teman, anak, istri serta pembantu bagaikan mimpi. Semua ini telah kumengerti dengan jelas dan kuhayati dengan baik. Sekarang bimbinglah aku agar bisa mengarungi lautan kehidupan.”
Mendengar tutur katanya, Dev Sharma membalas dengan bijak,”anakku, engkau diberkahi sehingga mau meninggalkan dunia ini di masa muda untuk menjadi rahib. Karena engkau meminta petunjuk untuk mengarungi lautan kehidupan maka dengarkanlah:
Jiwa dan pikiran orang baik terasa tenteram bagai di usia tua walaupun raga masih muda tetapi raga orang jahat akan menjadi lemah seiring bertambahnya usia walaupun pikirannya tetap muda.”
Begitu Ashadbhuti mendengarnya ia bersujud di depan Dev Sharma sampai hampir mencium kaki rahib itu.”oh Bhagavan, terimalah aku menjadi muridmu dan ajarkanlah aku tentang rahasia kehidupan.”
“anakku!” kata Dev Sharma, “baiklah ttapi dengan satu syarat bahwa kamu tidak boleh masuk asrama pada malam hari, karena para sanyasi dianjurkan tinggal sendirian pada malam hari, tanpa ditemani. Kita harus mematuhi ajaran ini, kamu dan aku.para arif bijaksana berpesan :
Seorang raja hancur karena penasehat yang busuk, seorang sanyasi karena teman, seorang anak laki-laki karena terlalu dimanja, seorang brahmin karena kurang mengkaji sastra, sepetak sawah karena kelalaian dan suatu keluarga karena berhubungan dengan orang yang berperangai buruk.”
“jadi,” kata Dev Sharma,”setelah disumpah dan diterima dengan upacara kamu harus tidur di pondok rumbia di pintu gerbang asrama.”
“akan kulaksanakan dengan senang hati,” jawab Ashadbhuti. Demikianlah Dev Sharma menerima Ashadbhutisesuai adat dan ajarannya. Sejak saat itu resmilah ashadbhuti sebagai pengikutnya.
Hari demi haripun berlalu. Siang malam murid baru itu berpura-pura menimba ilmu sambil berusaha mengambil hati sang guru. Menjelang tidur ia memijat tangan dan kaki Dev Sharma, melayaninya, dan membuatnya gembira. Dev Sharma menerima pengabdian itu dengan suka-cita tetapi tetap tak tak pernah melepaskan tas uang sedetikpun.
Lama-lama ashadbhuti pun berpikir, “dia sama sekali tidak mempercayaiku. Apa akalku? Haruskah ia ditusuk dengan pisau? Diracun? Atau dijerat seperti seekor binatang buas?”.
Ketika ia sedang memikirkan siasat lainnya, datanglah seorang anak lelaki pengikut Dev Sharma dari desa terdekat. Ia menyampaikan undangan seraya berkata, “bhagavan! Hari ini upacara benang suci dilaksanakan di rumah kami. Datanglah dan berkatilah kami.”
Dev Sharma menyambut undangan itu dengan gembira. Ketika berangkat ke tempat upacara itu, Ashadbhuti menemaninya. Di tengah perjalanan mereka tiba di sebuah sungai. Ketika  berkaca di air sungai ,Dev Sharma melihat tas uangnyamembayang jelas. Ia kemudian melipat dan memasukkan tas itu ke dalam jubahnya lalu berkata,”Ashadbhuti jagalah jubah ini dengan kewaspadaan seorang yogi sampai aku kembali “. Ia pun masuk ke semak semak di tepi sungai untuk menyegarkan diri.
Ashadbhuti sudah barang tentu sangat gembira mendengar perintah itu. Inilah saat yang ia nanti-nantikan selama ini. Beberapa detik setelah Dev Sharma berbalik langkah menuju tepi sungai, Ashadbhuti pun kabur dengan tas berisi uang Dev Sharma.
Dev Sharma sama sekali tak mencurigai kemungkinan pengkhianatan muridnya. Dari tepi sungai ia melihat dua ekor biri-biri janyan sedang bertarung di kejauhan. Dahsyat sekali. Darah hewan bertanduk itu mengalir hingga bertebaran kesana sini. Namun tak ada tanda-tanda mereka akan menghentikan pertarungan.
Seekor serigala yang haus darah datang dari kejauhan. Begitu membaui darah segar. Ia langsung menjilati ceceran darah di tanah. Dev Sharma berpikir,”kalau mendekati biri-biri itu dia pasti akan terbunuh.”
Ternyata benar. Karena haus darah serigala terjebak di tengah-tengah pertarungan. Kepalanya tertusuk tanduk biri-biri membuatnya tersungkur di atas tanah dan langsung mati.
Dev Sharma kembali ke tempat Ashadbhuti sambil memikirkan uangnya dan pertarungan tadi. Tapi apa yang dilihatnya, hanya jubahnya yang menggelatak lusuh di tanah dengan panik ia memeriksanya dan ketika tak menemukan tas uangnya ia pun berteriak. “Aduh aku dirampok.” Ia jatuh ke atas tanah, pingsan.
Beberapa menit kemudian ia sadar kembali. Cepat-cepat ia bangkit sambil berteriak-teriak. “Ashadbhuti dimana kau, penipu! Jawablah aku!”
Percuma tak ada jawaban.
Akhirnya dengan perasaan kesal campur putus asa, pelan-pelan ia mengikuti jejak kaki Ashadbhuti sampai ia tiba di suatu desa ketika hari sudah menjelang sore. Ia tinggal di desai itu sebentar, namun Ashadbhuti tak kunjung ditemuinya, demikian pula uangnya. Dengan perasaan sedih pulanglah ia ke asramanya.
*****
“Oleh karena itu,”kata Damanaka,”kukatakan kepadamu :
Serigala diantara biri-biri jantan yang sedang bertarung dan sanyasi yang terlalu mempercayai Ashadbhuti mereka sendirilah yang menanggung akibatnya.”
“dalam keadaan seperti itu, apa yang harus kita lakukan?” tanya Karataka.
“aku baru saja mendapatkan gagasan,” kata Damanaka.
“akan aku adu domba Sanjiwaka dan Pingalaka hingga mereka berselisih dan berpisah. Dengarlah kata-kataku :
Sebatang anak panah diluncurkan dari busurnya, mungkin bisa melumpuhkan sasarannya, mungkin juga tidak. Tetapi akal yang cerdik mampu menghancurkan semua musuh.”
“oh, tetapi itu akal yang berbahaya!” seru Karataka.”kalau Pingalka atau Sanjiwaka mengetahui rencana ini engkau akan mati dihukum!”.
“ah tenanglah,” kata Damanaka. “jangan berbicara seperti itu. Ketika menghadapi kesulitan atau ketika keberuntungan tak menyertaimu cobalah terus, karena :
Dewi laksmi menganugerahkan rahmatnya kepada orang yang tekun dia menbenci orang yang malas yang berserah diri sepenuhnya pada nasib. Jadi lupakanlah pikiran burukmu tentang takdir, dan cobalah dengan seluruh kekuatan. Kalau masih juga gagal, cari diman letak kesalahannya.”
“kesimpulannya,” kata Damanaka lagi, “aku akan meneruskan rencana ini dengan matang dan mengelabuhi mereka.”
Namun Karataka masih ragu.”tapi aku takut karena Sanjiwaka sapi yang pandai dan Pingalaka singa buas. Biarpun engkau cerdik aku yakin engkau tidak akan berhasil memisahkan mereka, sekalipun dengan cara terselubung.”
“mungkin bagimu begitu,” kata Damanaka, “tapi aku akan berhasil karena :
Apa yang tak bisa dicapai dengan kekuatan dapat dicapai dengan kelihaian. Dengan bantuan rantai emas, burung gagak betina membunuh ular kobra hitam.”
“bagaimana ceriteranya?” tanya Karataka.
Damanaka pun lantas bercerita tentang ular kobra yang memangsa telur burung gagak.


Tidak ada komentar:

  " Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, jiwa (Atman) dibersaihkan dengan ilmu pengetahuan dan akal budi...