UPAH KECEROBOHAN
Di
sebuah Matha, yang sepi, hiduplah seorang sanyasi bernama dev Sharma. Karena
dipandang suci dan terhormat seringlah orang mengunjunginya untuk meminta
pendapat atau nasehat sambil membawakan hadiah untuknya terutama kain tenunan
halus atau rajutan indah. Semakin banyak tamunya semakin banyak pula hadiah
yang diterima Dev Sharma.
Tumpukan
hadiah itu kemudian dijualnya. Lama-kelamaan ia menjadi kaya-raya dari hasil
penjualan barang-barang persembahan tersebut. Namun karena sangat kaya, Dev
Sharma selalu was-was uangnya dicuri atau curiga pada orang lain. Siang malam
ia mengapit tas uangnya kemana saja. Ia membenarkan pendapat orang bahwa :
Mencari uang memang susah tetapi
lebih susah lagi menjaganya. Mencari dan membelanjakan uang menimbulkan banyak
masalah, terkutuklahsumber kekhawatiran yang tak kunjung berakhir ini.
Seorang pencuri
bernama ashadbhuti tak luput mengintainya. Dia selalu berpikir bagaiman cara
mencuri uang sanyasi itu. Tak mudah mendekatinya. Tembok asrama tebal dan
terlalu kuat untuk dibobol. Pintu gerbangnya tinggi dan dijaga.
Namun pada
suatu hari ia mendapat gagasan cemerlang.
“lebih
baik aku melamar menjadi murid sampai aku dipercaya menjadi pengikutnya. Kalu ia
sudah mempercayaiku niscaya ia akan jatuh ke dalam cengkeramanku. Aku akan
menggunakan siasat seperti yang dibenarkan banyak orang:
Orang yang tidak mempunyai pamrih
tak akan merampas hak orang lain. Dan orang yang tak mempunyai nafsu tak akan
merias diri, orang bodoh tak akan berbelit-belit, orang yang berbicara terus
terang pasti bukan penipu.”
Setelah mantap
dengan rencananya, ashadbhuti meminta ijin untuk menghadap Dev Sharma. Ketika diterima,
ia membungkuk hormat dihadapan rahib itu dengan penuh takzim seraya memberi
salam ‘Om Namah Siwaya’.
Kemudian
sambil bersujud dengan rendah hati dia berkata,”oh bagavan, hidupku ini
sia-sia! Masa muda cepat berlalu seperti aliran air dari gunung. Hidup ini
seperti api di padang rumput, kebahagiaan tak ada yang kekal seperti sirnanya
awan di musim gugur. Dan hubungan dengan teman, anak, istri serta pembantu
bagaikan mimpi. Semua ini telah kumengerti dengan jelas dan kuhayati dengan
baik. Sekarang bimbinglah aku agar bisa mengarungi lautan kehidupan.”
Mendengar
tutur katanya, Dev Sharma membalas dengan bijak,”anakku, engkau diberkahi
sehingga mau meninggalkan dunia ini di masa muda untuk menjadi rahib. Karena engkau
meminta petunjuk untuk mengarungi lautan kehidupan maka dengarkanlah:
Jiwa dan pikiran orang baik
terasa tenteram bagai di usia tua walaupun raga masih muda tetapi raga orang
jahat akan menjadi lemah seiring bertambahnya usia walaupun pikirannya tetap
muda.”
Begitu Ashadbhuti
mendengarnya ia bersujud di depan Dev Sharma sampai hampir mencium kaki rahib
itu.”oh Bhagavan, terimalah aku menjadi muridmu dan ajarkanlah aku tentang
rahasia kehidupan.”
“anakku!”
kata Dev Sharma, “baiklah ttapi dengan satu syarat bahwa kamu tidak boleh masuk
asrama pada malam hari, karena para sanyasi dianjurkan tinggal sendirian pada
malam hari, tanpa ditemani. Kita harus mematuhi ajaran ini, kamu dan aku.para
arif bijaksana berpesan :
Seorang raja hancur karena
penasehat yang busuk, seorang sanyasi karena teman, seorang anak laki-laki
karena terlalu dimanja, seorang brahmin karena kurang mengkaji sastra, sepetak
sawah karena kelalaian dan suatu keluarga karena berhubungan dengan orang yang
berperangai buruk.”
“jadi,”
kata Dev Sharma,”setelah disumpah dan diterima dengan upacara kamu harus tidur
di pondok rumbia di pintu gerbang asrama.”
“akan
kulaksanakan dengan senang hati,” jawab Ashadbhuti. Demikianlah Dev Sharma
menerima Ashadbhutisesuai adat dan ajarannya. Sejak saat itu resmilah
ashadbhuti sebagai pengikutnya.
Hari demi
haripun berlalu. Siang malam murid baru itu berpura-pura menimba ilmu sambil
berusaha mengambil hati sang guru. Menjelang tidur ia memijat tangan dan kaki
Dev Sharma, melayaninya, dan membuatnya gembira. Dev Sharma menerima pengabdian
itu dengan suka-cita tetapi tetap tak tak pernah melepaskan tas uang sedetikpun.
Lama-lama
ashadbhuti pun berpikir, “dia sama sekali tidak mempercayaiku. Apa akalku? Haruskah
ia ditusuk dengan pisau? Diracun? Atau dijerat seperti seekor binatang buas?”.
Ketika ia
sedang memikirkan siasat lainnya, datanglah seorang anak lelaki pengikut Dev
Sharma dari desa terdekat. Ia menyampaikan undangan seraya berkata, “bhagavan! Hari
ini upacara benang suci dilaksanakan di rumah kami. Datanglah dan berkatilah
kami.”
Dev
Sharma menyambut undangan itu dengan gembira. Ketika berangkat ke tempat
upacara itu, Ashadbhuti menemaninya. Di tengah perjalanan mereka tiba di sebuah
sungai. Ketika berkaca di air sungai
,Dev Sharma melihat tas uangnyamembayang jelas. Ia kemudian melipat dan
memasukkan tas itu ke dalam jubahnya lalu berkata,”Ashadbhuti jagalah jubah ini
dengan kewaspadaan seorang yogi sampai aku kembali “. Ia pun masuk ke semak
semak di tepi sungai untuk menyegarkan diri.
Ashadbhuti
sudah barang tentu sangat gembira mendengar perintah itu. Inilah saat yang ia
nanti-nantikan selama ini. Beberapa detik setelah Dev Sharma berbalik langkah
menuju tepi sungai, Ashadbhuti pun kabur dengan tas berisi uang Dev Sharma.
Dev
Sharma sama sekali tak mencurigai kemungkinan pengkhianatan muridnya. Dari tepi
sungai ia melihat dua ekor biri-biri janyan sedang bertarung di kejauhan. Dahsyat
sekali. Darah hewan bertanduk itu mengalir hingga bertebaran kesana sini. Namun
tak ada tanda-tanda mereka akan menghentikan pertarungan.
Seekor serigala
yang haus darah datang dari kejauhan. Begitu membaui darah segar. Ia langsung
menjilati ceceran darah di tanah. Dev Sharma berpikir,”kalau mendekati
biri-biri itu dia pasti akan terbunuh.”
Ternyata
benar. Karena haus darah serigala terjebak di tengah-tengah pertarungan. Kepalanya
tertusuk tanduk biri-biri membuatnya tersungkur di atas tanah dan langsung
mati.
Dev
Sharma kembali ke tempat Ashadbhuti sambil memikirkan uangnya dan pertarungan
tadi. Tapi apa yang dilihatnya, hanya jubahnya yang menggelatak lusuh di tanah
dengan panik ia memeriksanya dan ketika tak menemukan tas uangnya ia pun
berteriak. “Aduh aku dirampok.” Ia jatuh ke atas tanah, pingsan.
Beberapa
menit kemudian ia sadar kembali. Cepat-cepat ia bangkit sambil
berteriak-teriak. “Ashadbhuti dimana kau, penipu! Jawablah aku!”
Percuma tak
ada jawaban.
Akhirnya
dengan perasaan kesal campur putus asa, pelan-pelan ia mengikuti jejak kaki
Ashadbhuti sampai ia tiba di suatu desa ketika hari sudah menjelang sore. Ia tinggal
di desai itu sebentar, namun Ashadbhuti tak kunjung ditemuinya, demikian pula
uangnya. Dengan perasaan sedih pulanglah ia ke asramanya.
*****
“Oleh karena
itu,”kata Damanaka,”kukatakan kepadamu :
Serigala
diantara biri-biri jantan yang sedang bertarung dan sanyasi yang terlalu
mempercayai Ashadbhuti mereka sendirilah yang menanggung akibatnya.”
“dalam
keadaan seperti itu, apa yang harus kita lakukan?” tanya Karataka.
“aku
baru saja mendapatkan gagasan,” kata Damanaka.
“akan
aku adu domba Sanjiwaka dan Pingalaka hingga mereka berselisih dan berpisah. Dengarlah
kata-kataku :
Sebatang anak panah diluncurkan
dari busurnya, mungkin bisa melumpuhkan sasarannya, mungkin juga tidak. Tetapi akal
yang cerdik mampu menghancurkan semua musuh.”
“oh,
tetapi itu akal yang berbahaya!” seru Karataka.”kalau Pingalka atau Sanjiwaka
mengetahui rencana ini engkau akan mati dihukum!”.
“ah
tenanglah,” kata Damanaka. “jangan berbicara seperti itu. Ketika menghadapi
kesulitan atau ketika keberuntungan tak menyertaimu cobalah terus, karena :
Dewi laksmi menganugerahkan
rahmatnya kepada orang yang tekun dia menbenci orang yang malas yang berserah
diri sepenuhnya pada nasib. Jadi lupakanlah pikiran burukmu tentang takdir, dan
cobalah dengan seluruh kekuatan. Kalau masih juga gagal, cari diman letak
kesalahannya.”
“kesimpulannya,”
kata Damanaka lagi, “aku akan meneruskan rencana ini dengan matang dan
mengelabuhi mereka.”
Namun Karataka
masih ragu.”tapi aku takut karena Sanjiwaka sapi yang pandai dan Pingalaka
singa buas. Biarpun engkau cerdik aku yakin engkau tidak akan berhasil
memisahkan mereka, sekalipun dengan cara terselubung.”
“mungkin
bagimu begitu,” kata Damanaka, “tapi aku akan berhasil karena :
Apa yang tak bisa dicapai dengan
kekuatan dapat dicapai dengan kelihaian. Dengan bantuan rantai emas, burung
gagak betina membunuh ular kobra hitam.”
“bagaimana
ceriteranya?” tanya Karataka.
Damanaka
pun lantas bercerita tentang ular kobra yang memangsa telur burung gagak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar